Cerpen: Segalanya Tak Lagi Sama

by - Sunday, July 13, 2014

Segalanya Tak Lagi Sama
by Cindy Pricilla

Hampa.
Sama sekali tak ada cinta yang melumuri tubuhku. Sudah dua minggu ini aku tak dibelai olehmu. Bahkan, dilirik pun tidak. Entah apa alasanmu, tapi yang kutahu, semenjak kau mulai rajin bangun pagi untuk menyantap nasi, kau mulai mengacuhkanku.
Sungguh aku merindukanmu yang dulu. Rindu dirimu yang selalu menekuri setiap senti kulitku. Membaca setiap jengkal lekuk tubuhku, hingga rasanya kau sudah begitu hafal tentang diriku. Seakan-akan hanya ada aku yang berada di balik tempurung kepalamu.
Dulu, kita sering meretas waktu berdua saja. Memadu kisah dan kasih sampai letih. Dari pagi hingga tengah hari. Lalu lanjut di malam yang sunyi. Tanpa henti. Paling kau hanya mengambil jeda sebentar saat perutmu meronta minta diisi.
Namun, kini aku sepi. Sendiri.
Kau sibuk dengan yang lain. Kau tak pernah lagi memiliki waktu untukku barang sedetik saja. Kini kau lebih suka melakukan aktivitas yang lain. Aktivitas yang bahkan aku sendiri tak tahu apa sebutannya.
Pagi-pagi sekali, sekitar pukul tiga dini hari, kau mulai menanak nasi. Kemudian menghangatkan lauk-pauk. Oh, betapa aku iri dengan tempe, tahu, dan sayur sop yang kuyakin rasanya keasinan—karena kau pernah bilang sangat menyukai rasa asin—itu. Aku juga ingin dihangatkan olehmu. Tapi bukan berarti aku ingin dihangatkan di atas kompor seperti nasib ketiga lauk itu. Bukan. Ah, tanpa kuberitahu kalian juga pasti mengerti apa maksudku.
Aku heran, mengapa selama empat belas hari ini kamu jadi suka makan dini? Ah, maksudku makan di pagi hari sekali. Aku tadi ingin menyebut makan pagi, tapi sepertinya makan pagi itu kurang tepat untuk sebutan makan di pukul 3 lewat 30 menit. Bahkan sarapan pun tak lazim dilakukan pukul segitu, kan? Ada apa sih sebenarnya?
Terkadang kau mengisi lambungmu sembari menonton acara televisi yang menayangkan banyak pria bercelana pendek tengah berlari-lari mengejar satu benda bulat. Aku tahu hampir semua pria termasuk dirimu, suka sekali menonton bola. Memangnya apa sih keseruannya? Aku berani bertaruh kalau aktivitas itu masih kalah asyik dibanding melenyapkan detik demi detik denganku.
Tetapi sesungguhnya bukan itu yang membuatku tersedu. Melainkan—
“GOOOL!” Kalimat dalam pikiranku terpotong oleh pekikanmu ketika seorang pria yang kulihat bernomor punggung 20, dan belakangan kutahu namanya Georginio Wijnaldum mencetak angka di menit-menit terakhir. Dan dengan ini, kuyakin tim oranye kesayanganmu menempati juara ketiga. Karena sudah tak mungkin untuk sang tuan rumah mengejar ketertinggalan tiga angka itu.
Selang beberapa menit kemudian, kau pun meneguk air putih ketika telingamu menangkap suara “Imsak” yang diserukan oleh seseorang dari balik bangunan berlambang bulan sabit dan bintang di atas kubahnya itu. Dan sampai matahari kembali ke peraduannya, kau pun tak memasukkan apa-apa lagi ke dalam perut buncitmu—yang kini kuperhatikan bulatannya tampak mengecil.
Setelah itu, kau pun mulai rajin melaksanakan gerakan-gerakan itu seraya bibir tipismu komat-kamit melafalkan sesuatu—entah apa, aku tak tahu. Padahal dulu jarang sekali, dan bahkan kau pernah mengeluh bahwa kau sangat malas untuk mencium sehelai kain yang kau bentangkan di atas lantai itu.
Sungguh, lagi-lagi aku tak mengerti mengapa kini kau berubah. Terutama berubah karena tak menorehkan sentuhan hangatmu di tubuhku lagi yang sudah serupa candu bagiku. Kini segalanya tak lagi sama.
“Assalamualaikum warahmatullah..” Kudengar kau berkata demikian dua kali sambil menelengkan kepala ke kanan dan ke kiri.
Setelah melakukan gerakan yang tak kutahu namanya—tapi yang pasti bukan gerakan olahraga—itu, kau pun kembali terlelap menuju alam mimpi. Kau baru bangun ketika matahari sedang terik-teriknya, hingga sinarnya mampu menelusup melalui kisi-kisi jendela.
Dan saat ini, kau terbangun karena dering telepon yang mengusik jadwal tidurmu yang sudah berantakan. Tanpa memandang layar ponsel untuk mengetahui siapa yang meneleponmu, kau pun langsung menekan tombol hijau dan memilih opsi loudspeaker, karena terlalu malas untuk menegakkan tubuh. Aku tahu kau masih ingin bergelut dengan kasurmu yang seprainya sudah lama tak diganti itu.
“Haloo...?” Suaramu masih agak serak, efek baru bangun tidur.
“Evan, tulisanmu sudah selesai? Kau ingat kan, deadline-nya tinggal berapa hari lagi?” Mendengar suara yang tidak ada basa-basinya itu, kau pun segera menegakkan tubuhmu.
“Sial!” umpatmu pelan, hampir menyerupai suara bisikan. Karena gerakan mendadak tadi, kurasa tubuhmu jadi agak terkejut dan sedikit linu. Atau barangkali karena salah bantal? Kulihat susunan bantalmu itu tidak proporsional. Entahlah, aku tak dapat merabanya dengan jelas.
“Evan? Kau masih di sana?” Suara dari ponsel itu berbicara lagi. Sebuah keberuntungan bagiku karena di-loudspeaker, jadi aku bisa mendengar dengan jelas kata-kata yang terlontar dari seberang sana.
“I...iya, Pak. Saya masih di... sini. Hmm, ta...tapi maaf, Pak,” ujarmu agak terbata-bata. “Ini kan sedang bulan Ramadhan, saya merasa... puasa saya akan batal kalau saya menulis erotika seperti itu. Sedangkan kalau saya menulis malam hari, rasanya sudah terlalu ngantuk dan lelah karena shalat Tarawih di masjid dekat kostan saya bacaannya panjang dan lama sekali, seperti siput. Jadi...”
“Kau ingin minta perpanjangan waktu?” potong suara seorang pria yang nadanya sangat rendah itu, seakan tahu apa yang ingin diutarakan olehmu.
Kau menelan ludah, terlihat dari jakunmu yang naik-turun. “Ya, begitulah.” Kau menggaruk-garuk rambutmu dengan gerakan kasar. “Tapi saya janji Pak, setelah bulan Ramadhan saya akan menyelesaikannya secepat mungkin.”
“Oke, baiklah. Saya beri waktu satu bulan lagi.”
“Terima kasih banyak, Pak.” Dan telepon pun ditutup.

Jadi, karena itu alasanmu mengacuhkanku. Sungguh aku tak sabar menantikan bulan depan dan mengakhiri bulan Ramadhan ini, agar kau bisa kembali menjalin cerita di tubuhku hingga mencapai kata ‘Tamat’.

--
Total: 865 kata
(Diikutsertakan dalam Tantangan Menulis "Kampus Fiksi" dengan tema #EkspresiPuasa)

You May Also Like

0 komentar