Cerpen: Segalanya Tak Lagi Sama
Segalanya Tak Lagi Sama
by Cindy Pricilla
by Cindy Pricilla
Hampa.
Sama
sekali tak ada cinta yang melumuri tubuhku. Sudah dua minggu ini aku tak
dibelai olehmu. Bahkan, dilirik pun tidak. Entah apa alasanmu, tapi yang
kutahu, semenjak kau mulai rajin bangun pagi untuk menyantap nasi, kau mulai
mengacuhkanku.
Sungguh
aku merindukanmu yang dulu. Rindu dirimu yang selalu menekuri setiap senti
kulitku. Membaca setiap jengkal lekuk tubuhku, hingga rasanya kau sudah begitu
hafal tentang diriku. Seakan-akan hanya ada aku yang berada di balik tempurung
kepalamu.
Dulu,
kita sering meretas waktu berdua saja. Memadu kisah dan kasih sampai letih. Dari
pagi hingga tengah hari. Lalu lanjut di malam yang sunyi. Tanpa henti. Paling
kau hanya mengambil jeda sebentar saat perutmu meronta minta diisi.
Namun,
kini aku sepi. Sendiri.
Kau
sibuk dengan yang lain. Kau tak pernah lagi memiliki waktu untukku barang
sedetik saja. Kini kau lebih suka melakukan aktivitas yang lain. Aktivitas yang
bahkan aku sendiri tak tahu apa sebutannya.
Pagi-pagi
sekali, sekitar pukul tiga dini hari, kau mulai menanak nasi. Kemudian
menghangatkan lauk-pauk. Oh, betapa aku iri dengan tempe, tahu, dan sayur sop yang
kuyakin rasanya keasinan—karena kau pernah bilang sangat menyukai rasa asin—itu.
Aku juga ingin dihangatkan olehmu. Tapi bukan berarti aku ingin dihangatkan di
atas kompor seperti nasib ketiga lauk itu. Bukan. Ah, tanpa kuberitahu kalian
juga pasti mengerti apa maksudku.
Aku
heran, mengapa selama empat belas hari ini kamu jadi suka makan dini? Ah,
maksudku makan di pagi hari sekali. Aku tadi ingin menyebut makan pagi, tapi
sepertinya makan pagi itu kurang tepat untuk sebutan makan di pukul 3 lewat 30
menit. Bahkan sarapan pun tak lazim dilakukan pukul segitu, kan? Ada apa sih sebenarnya?
Terkadang
kau mengisi lambungmu sembari menonton acara televisi yang menayangkan banyak
pria bercelana pendek tengah berlari-lari mengejar satu benda bulat. Aku tahu
hampir semua pria termasuk dirimu, suka sekali menonton bola. Memangnya apa sih
keseruannya? Aku berani bertaruh kalau aktivitas itu masih kalah asyik
dibanding melenyapkan detik demi detik denganku.
Tetapi
sesungguhnya bukan itu yang membuatku tersedu. Melainkan—
“GOOOL!”
Kalimat dalam pikiranku terpotong oleh pekikanmu ketika seorang pria yang
kulihat bernomor punggung 20, dan belakangan kutahu namanya Georginio Wijnaldum
mencetak angka di menit-menit terakhir. Dan dengan ini, kuyakin tim oranye
kesayanganmu menempati juara ketiga. Karena sudah tak mungkin untuk sang tuan
rumah mengejar ketertinggalan tiga angka itu.
Selang
beberapa menit kemudian, kau pun meneguk air putih ketika telingamu menangkap
suara “Imsak” yang diserukan oleh seseorang dari balik bangunan berlambang
bulan sabit dan bintang di atas kubahnya itu. Dan sampai matahari kembali ke
peraduannya, kau pun tak memasukkan apa-apa lagi ke dalam perut buncitmu—yang kini
kuperhatikan bulatannya tampak mengecil.
Setelah
itu, kau pun mulai rajin melaksanakan gerakan-gerakan itu seraya bibir tipismu
komat-kamit melafalkan sesuatu—entah apa, aku tak tahu. Padahal dulu jarang
sekali, dan bahkan kau pernah mengeluh bahwa kau sangat malas untuk mencium
sehelai kain yang kau bentangkan di atas lantai itu.
Sungguh,
lagi-lagi aku tak mengerti mengapa kini kau berubah. Terutama berubah karena
tak menorehkan sentuhan hangatmu di tubuhku lagi yang sudah serupa candu
bagiku. Kini segalanya tak lagi sama.
“Assalamualaikum
warahmatullah..” Kudengar kau berkata demikian dua kali sambil menelengkan kepala ke
kanan dan ke kiri.
Setelah
melakukan gerakan yang tak kutahu namanya—tapi yang pasti bukan gerakan olahraga—itu,
kau pun kembali terlelap menuju alam mimpi. Kau baru bangun ketika matahari
sedang terik-teriknya, hingga sinarnya mampu menelusup melalui kisi-kisi
jendela.
Dan
saat ini, kau terbangun karena dering telepon yang mengusik jadwal tidurmu yang
sudah berantakan. Tanpa memandang layar ponsel untuk mengetahui siapa yang
meneleponmu, kau pun langsung menekan tombol hijau dan memilih opsi loudspeaker, karena terlalu malas untuk
menegakkan tubuh. Aku tahu kau masih ingin bergelut dengan kasurmu yang
seprainya sudah lama tak diganti itu.
“Haloo...?”
Suaramu masih agak serak, efek baru bangun tidur.
“Evan,
tulisanmu sudah selesai? Kau ingat kan, deadline-nya
tinggal berapa hari lagi?” Mendengar suara yang tidak ada basa-basinya itu, kau
pun segera menegakkan tubuhmu.
“Sial!”
umpatmu pelan, hampir menyerupai suara bisikan. Karena gerakan mendadak tadi, kurasa
tubuhmu jadi agak terkejut dan sedikit linu. Atau barangkali karena salah
bantal? Kulihat susunan bantalmu itu tidak proporsional. Entahlah, aku tak
dapat merabanya dengan jelas.
“Evan?
Kau masih di sana?” Suara dari ponsel itu berbicara lagi. Sebuah keberuntungan
bagiku karena di-loudspeaker, jadi
aku bisa mendengar dengan jelas kata-kata yang terlontar dari seberang sana.
“I...iya,
Pak. Saya masih di... sini. Hmm, ta...tapi maaf, Pak,” ujarmu agak
terbata-bata. “Ini kan sedang bulan Ramadhan, saya merasa... puasa saya akan
batal kalau saya menulis erotika seperti itu. Sedangkan kalau saya menulis
malam hari, rasanya sudah terlalu ngantuk dan lelah karena shalat Tarawih di
masjid dekat kostan saya bacaannya panjang dan lama sekali, seperti siput.
Jadi...”
“Kau
ingin minta perpanjangan waktu?” potong suara seorang pria yang nadanya sangat
rendah itu, seakan tahu apa yang ingin diutarakan olehmu.
Kau
menelan ludah, terlihat dari jakunmu yang naik-turun. “Ya, begitulah.” Kau
menggaruk-garuk rambutmu dengan gerakan kasar. “Tapi saya janji Pak, setelah
bulan Ramadhan saya akan menyelesaikannya secepat mungkin.”
“Oke,
baiklah. Saya beri waktu satu bulan lagi.”
“Terima
kasih banyak, Pak.” Dan telepon pun ditutup.
Jadi, karena itu alasanmu mengacuhkanku. Sungguh aku tak sabar menantikan bulan depan
dan mengakhiri bulan Ramadhan ini, agar kau bisa kembali menjalin cerita di
tubuhku hingga mencapai kata ‘Tamat’.
--
Total: 865 kata
(Diikutsertakan dalam Tantangan Menulis "Kampus Fiksi" dengan tema #EkspresiPuasa)
(Diikutsertakan dalam Tantangan Menulis "Kampus Fiksi" dengan tema #EkspresiPuasa)
0 komentar