Cerpen: Kenangan

by - Monday, August 04, 2014

Kenangan
by Cindy Pricilla

Aku menatap lilin yang sudah memendek dilumat api. Otakku berputar, kembali ke masa-masa sekitar setahun yang lalu. Kala aku baru menginjak usia enam dikali tiga. Masa-masa itu kuberi nama kenangan. Kenangan tentang satu-dua imaji—atau bahkan lebih dari itu—, yang terekam dan membekas di kotak brankas memoriku.
*
TPB. Tingkat Persiapan Bersama. Tapi bagiku TPB lebih seperti Tingkat Pembantaian Bersama. Bagaimana tidak? Seluruh mahasiswa angkatan baru dipaksa untuk mengenyam mata kuliah dasar yang namanya seperti pelajaran di SMA—tapi percayalah tingkat kesulitannya sangat jauh dari soal-soal UN SMA—itu yang jelas-jelas tidak sesuai dengan minatku.
Aku. Ari Heri Nasution. Mahasiswa Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia angkatan 50. Dengan NIM I34130011. Pembenci mata kuliah yang mempunyai hubungan darah dengan angka. Biar kusebutkan contohnya; Landasan Matematika, Ekonomi Umum, Fisika Umum, dan—oh, tambahkan mata kuliah yang susah ditanam ke dalam organ lembek dalam kepala ini, seperti Kimia Umum dan Biologi Umum yang menurutku juga merupakan pembantaian terhadap indeks prestasiku.
Sebenarnya otakku tidak bodoh-bodoh amat, lagi pula di dunia ini tidak ada orang yang bodoh, melainkan hanya orang malas bukan? Err, tapi aku tak suka menyebut diriku pemalas. Aku hanya... suka menghemat energi. Oke, mungkin itu sama saja.
Masalahku dimulai ketika aku harus menetap di asrama putra selama setahun. Kebetulan aku kebagian di asrama C4, yang letaknya di ‘rimba hutan’, paling jauh sendiri dari gedung CCR[1] tempatku kuliah. Aku harus meluangkan waktu lebih banyak untuk berjalan sampai CCR jika tidak ingin terlambat. Pernah ketika waktu sudah seakan menghimpit diriku karena kesiangan, aku lari terbirit-birit sampai depan kelas. Risikonya aku harus pasrah bercucuran peluh walaupun habis mandi. Tapi masih untung dosenku membolehkanku masuk. Ah, ini tidak adil dengan asrama putri yang letaknya sangat dekat dengan CCR. Baru berangkat tiga menit lagi mau masuk kuliah pun tak masalah. Tapi, aku mengerti. Di dunia ini tak ada yang bisa membagi rata keadilan, yang ada hanya berusaha mendekati kata adil. Seperti tukang martabak yang tak pernah rata membagi martabaknya antara yang pinggir dan tengah. Selalu tidak sama besar. Oh, maafkan jika analogiku mulai meracau. Makanan favoritku memang martabak Mesir.
Di asrama aku kesulitan untuk konsentrasi belajar. Cowok-cowok di lorongku bising sekali. Ada saja tingkahnya. Menyetel musik sekencang-kencangnya, tidur disertai dengkuran yang suaranya seperti bajaj, mengajak bicara tak ada jedanya, dan kadang ketika semuanya sudah terlelap, gelap gulita memerangkapku. Entah mengapa saat musim ujian di asrama sering sekali mati lampu? Kalau begini terus, kapan aku belajarnya? Alhasil, IP-ku di semester satu kacau. Hanya meraih satu koma lima. Di bawah standar IPB[2], yaitu satu koma tujuh.
Semester dua aku mulai ketar-ketir. Perasaan takut tidak lulus TPB pun terus membayangiku. Aku tak mau mengecewakan kedua orang tua yang telah susah payah meraup rezeki untuk membiayaiku kuliah. Terkadang, aku menyesal sudah mengambil keputusan untuk merantau ke Pulau Jawa. Ingin rasanya bisa pulang seminggu sekali seperti teman-teman yang rumahnya di Jabodetabek. Pulang untuk bertemu orang tua dan mencicipi masakannya yang penuh bumbu rempah-rempah. Kembali memompa semangat untuk belajar. Kalau perasaan rindu kampung halaman sudah menghinggapi, aku pun hanya bisa menelepon orang tua. Itu pun tidak sering, pulsanya mahal. Lebih baik uangnya dipakai untuk mengenyangkan lambungku.
Namun, di sini aku tidak sendiri. Barangkali banyak yang senasib denganku. Bertaruh nilai demi tidak di-drop out. Beruntung aku memiliki sahabat-sahabat yang tak henti-hentinya memberiku suntikan semangat dan membantuku memahami materi kuliah.
“Ari dicicil materinya!”
“Semangat ya! Ari pasti bisa!”
“Tenang saja, pasti lulus kok, yang penting belajar!”
“Usaha sama dengan hasil. Lo mau hasil yang kayak apa? Itu semua tergantung usaha lo sekarang.”
Itu kata-kata dari sahabatku yang berasal dari berbagai daerah. Semangatku pun kembali tersulut dan membara. Tanpa kenal lelah, aku terus belajar, berusaha mengejar ketertinggalanku.
Dan saat Ujian Akhir Semester tiba, entah datangnya dari mana, tanganku bergerak lancar, menjawab semua soal yang tersedia. Seperti dapat pencerahan, sel kelabu dalam tempurung kepala dapat mengingat semua materi yang sudah diajarkan dosen, ditambah les privat dari Nahza dan Fiona yang memang IP-nya di atas rata-rata. Err, mungkin tidak semuanya aku ingat, tapi setidaknya 70% saja aku yakin benar.
Dua minggu kemudian, kala membuka KRS online, aku pun terkejut dan refleks sujud syukur. IP-ku di semester dua dapat 2,5. Yah, belum seberapa memang dibanding Nahza, Ryan, Bimo, dan Fiona yang mendapatkan IP di atas 3. Tapi buatku itu suatu keajaiban. Itu berarti IPK-ku mendarat di angka 2. Dan aku dinyatakan lulus TPB! Ah, senangnya.
Ibarat mati lampu yang gelap gulita, pasti masih ada cara untuk menghadirkan cahaya—dengan menyalakan lilin misalnya. Sampai cahaya yang sesungguhnya bersinar terang. Seperti malam yang hitam pekat, sesungguhnya sinar mentari sudah menunggu di pagi hari. Percaya saja bahwa badai pasti berlalu, suatu saat masalah pasti akan meninggalkanmu. Percaya saja bahwa kesuksesan menunggu kita di depan sana, selama kita masih punya harapan setinggi angkasa, tekad sekuat baja, dan usaha tak kenal jera. Dan tak lupa merapal doa.
*
“Ari? Make a wish nya lama kali? Cepat sikit lah!” Sebuah suara menghantam indra pendengaran, membuat pikiranku yang tadi bertualang ke dunia utopis kembali ke dunia nyata. Pemilik suara alto itu bernama Nahza. Cewek bertubuh sintal yang kampung halamannya sama denganku. Medan.
“Iya nih, lama banget!” Ryan dengan logat kental khas Ibu kota ikut membeo.
“Ayoo, tiup lilinnya Ri! Gue udah nggak sabar mau makan kuenya! Hehe,” seloroh Bimo asal Bogor. Cowok itu memang terkenal rakus, namun tubuh kerempengnya seakan berkata lain. Hipotesisku ia mengidap penyakit cacingan.
Fiona membuka suara, “Ari cepetan! Itu lilinnya udah mau meleleh!” Gadis manis dari Bandung yang diam-diam kukagumi itu memperingatkanku.
Aku pun mulai meniupkan udara ke kedua lilin berangka satu dan sembilan yang tertancap di tengah kue bulat itu. Perlahan sang api menyingkirkan diri. Diikuti serangan telur yang meretas di puncak kepalaku. Kawan-kawan yang tadi berdiri di dekatku langsung mengambil langkah seribu.
“Awas kelen ya! Awak kejar sampai dapat!” geramku seraya bersiap untuk berlari. Kini, TPB bukan lagi Tingkat Pembantaian Bersama, melainkan Tingkat Paling Bahagia. ***




[1] Common Class Room (Ruang Kuliah Bersama)
[2] Institut Pertanian Bogor

------------------------------------
Saya mengikuti perlombaan HOK Jurnalistik HIMASIERA IPB dengan tema "Masa-masa Tingkat Persiapan Bersama". Dukung saya dengan cara memberikan like pada cerpen saya #HOKIPB #HimasieraIPB #JurnalistikHIMASIERA

You May Also Like

0 komentar