Cerpen: Kenangan
Kenangan
by
Cindy Pricilla
Aku
menatap lilin yang sudah memendek dilumat api. Otakku berputar, kembali ke
masa-masa sekitar setahun yang lalu. Kala aku baru menginjak usia enam dikali
tiga. Masa-masa itu kuberi nama kenangan. Kenangan tentang satu-dua imaji—atau
bahkan lebih dari itu—, yang terekam dan membekas di kotak brankas memoriku.
*
TPB.
Tingkat Persiapan Bersama. Tapi bagiku TPB lebih seperti Tingkat Pembantaian
Bersama. Bagaimana tidak? Seluruh mahasiswa angkatan baru dipaksa untuk
mengenyam mata kuliah dasar yang namanya seperti pelajaran di SMA—tapi
percayalah tingkat kesulitannya sangat jauh dari soal-soal UN SMA—itu yang
jelas-jelas tidak sesuai dengan minatku.
Aku.
Ari Heri Nasution. Mahasiswa Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia angkatan 50. Dengan NIM I34130011. Pembenci mata kuliah yang
mempunyai hubungan darah dengan angka. Biar kusebutkan contohnya; Landasan
Matematika, Ekonomi Umum, Fisika Umum, dan—oh, tambahkan mata kuliah yang susah
ditanam ke dalam organ lembek dalam kepala ini, seperti Kimia Umum dan Biologi
Umum yang menurutku juga merupakan pembantaian terhadap indeks prestasiku.
Sebenarnya
otakku tidak bodoh-bodoh amat, lagi pula di dunia ini tidak ada orang yang
bodoh, melainkan hanya orang malas bukan? Err, tapi aku tak suka menyebut
diriku pemalas. Aku hanya... suka menghemat energi. Oke, mungkin itu sama saja.
Masalahku
dimulai ketika aku harus menetap di asrama putra selama setahun. Kebetulan aku
kebagian di asrama C4, yang letaknya di ‘rimba hutan’, paling jauh sendiri dari
gedung CCR[1]
tempatku kuliah. Aku harus meluangkan waktu lebih banyak untuk berjalan sampai
CCR jika tidak ingin terlambat. Pernah ketika waktu sudah seakan menghimpit
diriku karena kesiangan, aku lari terbirit-birit sampai depan kelas. Risikonya
aku harus pasrah bercucuran peluh walaupun habis mandi. Tapi masih untung
dosenku membolehkanku masuk. Ah, ini tidak adil dengan asrama putri yang
letaknya sangat dekat dengan CCR. Baru berangkat tiga menit lagi mau masuk
kuliah pun tak masalah. Tapi, aku mengerti. Di dunia ini tak ada yang bisa
membagi rata keadilan, yang ada hanya berusaha mendekati kata adil. Seperti
tukang martabak yang tak pernah rata membagi martabaknya antara yang pinggir
dan tengah. Selalu tidak sama besar. Oh, maafkan jika analogiku mulai meracau.
Makanan favoritku memang martabak Mesir.
Di
asrama aku kesulitan untuk konsentrasi belajar. Cowok-cowok di lorongku bising
sekali. Ada saja tingkahnya. Menyetel musik sekencang-kencangnya, tidur
disertai dengkuran yang suaranya seperti bajaj, mengajak bicara tak ada
jedanya, dan kadang ketika semuanya sudah terlelap, gelap gulita memerangkapku.
Entah mengapa saat musim ujian di asrama sering sekali mati lampu? Kalau begini
terus, kapan aku belajarnya? Alhasil, IP-ku di semester satu kacau. Hanya
meraih satu koma lima. Di bawah standar IPB[2],
yaitu satu koma tujuh.
Semester
dua aku mulai ketar-ketir. Perasaan takut tidak lulus TPB pun terus
membayangiku. Aku tak mau mengecewakan kedua orang tua yang telah susah payah
meraup rezeki untuk membiayaiku kuliah. Terkadang, aku menyesal sudah mengambil
keputusan untuk merantau ke Pulau Jawa. Ingin rasanya bisa pulang seminggu
sekali seperti teman-teman yang rumahnya di Jabodetabek. Pulang untuk bertemu
orang tua dan mencicipi masakannya yang penuh bumbu rempah-rempah. Kembali
memompa semangat untuk belajar. Kalau perasaan rindu kampung halaman sudah
menghinggapi, aku pun hanya bisa menelepon orang tua. Itu pun tidak sering,
pulsanya mahal. Lebih baik uangnya dipakai untuk mengenyangkan lambungku.
Namun,
di sini aku tidak sendiri. Barangkali banyak yang senasib denganku. Bertaruh
nilai demi tidak di-drop out. Beruntung
aku memiliki sahabat-sahabat yang tak henti-hentinya memberiku suntikan
semangat dan membantuku memahami materi kuliah.
“Ari
dicicil materinya!”
“Semangat
ya! Ari pasti bisa!”
“Tenang
saja, pasti lulus kok, yang penting belajar!”
“Usaha
sama dengan hasil. Lo mau hasil yang kayak apa? Itu semua tergantung usaha lo
sekarang.”
Itu
kata-kata dari sahabatku yang berasal dari berbagai daerah. Semangatku pun
kembali tersulut dan membara. Tanpa kenal lelah, aku terus belajar, berusaha
mengejar ketertinggalanku.
Dan
saat Ujian Akhir Semester tiba, entah datangnya dari mana, tanganku bergerak
lancar, menjawab semua soal yang tersedia. Seperti dapat pencerahan, sel kelabu
dalam tempurung kepala dapat mengingat semua materi yang sudah diajarkan dosen,
ditambah les privat dari Nahza dan Fiona yang memang IP-nya di atas rata-rata.
Err, mungkin tidak semuanya aku ingat, tapi setidaknya 70% saja aku yakin
benar.
Dua
minggu kemudian, kala membuka KRS online,
aku pun terkejut dan refleks sujud syukur. IP-ku di semester dua dapat 2,5.
Yah, belum seberapa memang dibanding Nahza, Ryan, Bimo, dan Fiona yang
mendapatkan IP di atas 3. Tapi buatku itu suatu keajaiban. Itu berarti IPK-ku
mendarat di angka 2. Dan aku dinyatakan lulus TPB! Ah, senangnya.
Ibarat
mati lampu yang gelap gulita, pasti masih ada cara untuk menghadirkan
cahaya—dengan menyalakan lilin misalnya. Sampai cahaya yang sesungguhnya
bersinar terang. Seperti malam yang hitam pekat, sesungguhnya sinar mentari
sudah menunggu di pagi hari. Percaya saja bahwa badai pasti berlalu, suatu saat
masalah pasti akan meninggalkanmu. Percaya saja bahwa kesuksesan menunggu kita
di depan sana, selama kita masih punya harapan setinggi angkasa, tekad sekuat
baja, dan usaha tak kenal jera. Dan tak lupa merapal doa.
*
“Ari?
Make a wish nya lama kali? Cepat sikit lah!” Sebuah suara menghantam
indra pendengaran, membuat pikiranku yang tadi bertualang ke dunia utopis
kembali ke dunia nyata. Pemilik suara alto itu bernama Nahza. Cewek bertubuh
sintal yang kampung halamannya sama denganku. Medan.
“Iya
nih, lama banget!” Ryan dengan logat kental khas Ibu kota ikut membeo.
“Ayoo,
tiup lilinnya Ri! Gue udah nggak sabar mau makan kuenya! Hehe,” seloroh Bimo
asal Bogor. Cowok itu memang terkenal rakus, namun tubuh kerempengnya seakan
berkata lain. Hipotesisku ia mengidap penyakit cacingan.
Fiona
membuka suara, “Ari cepetan! Itu lilinnya udah mau meleleh!” Gadis manis dari
Bandung yang diam-diam kukagumi itu memperingatkanku.
Aku
pun mulai meniupkan udara ke kedua lilin berangka satu dan sembilan yang
tertancap di tengah kue bulat itu. Perlahan sang api menyingkirkan diri.
Diikuti serangan telur yang meretas di puncak kepalaku. Kawan-kawan yang tadi
berdiri di dekatku langsung mengambil langkah seribu.
“Awas
kelen ya! Awak kejar sampai dapat!” geramku seraya bersiap untuk berlari.
Kini, TPB bukan lagi Tingkat Pembantaian Bersama, melainkan Tingkat Paling
Bahagia. ***
[1] Common Class Room (Ruang Kuliah Bersama)
[2] Institut
Pertanian Bogor
------------------------------------
Saya mengikuti perlombaan HOK Jurnalistik HIMASIERA IPB dengan tema "Masa-masa Tingkat Persiapan Bersama". Dukung saya dengan cara memberikan like pada cerpen saya #HOKIPB #HimasieraIPB #JurnalistikHIMASIERA
0 komentar