Cerpen: Senja di Laut

by - Monday, June 08, 2015

Senja di Laut
by Cindy Pricilla

Senja
Halo. Namaku Senja. Aku suka laut. Koreksi, aku sangat mencintai laut. Buatku, laut itu bisa membuatku merasa tenang dan damai. Seperti berada di surga. Ya, walaupun aku belum pernah pergi ke surga.
Aku juga suka melihat senja di atas laut. Dan kali ini aku sedang menatap semburat warna jingga yang dilukis oleh tangan Tuhan di Raja Ampat. Cahayanya berpendar ke segala arah. Membuatku terperangah dan enggan berkedip sedetik pun karena takjub.
Tepat ketika aku sedang menikmati senja, sudut mataku menangkap sesosok pria yang menurutku, tampan juga. Bukan. Bukan tampan layaknya artis-artis Korea. Kalau kudeskripsikan wujudnya, badan cowok itu tampak kekar dibalut dengan kulit kecokelatan, matanya bulat jernih, dia memiliki tulang hidung yang panjang melengkung, dan senyumnya... tunggu! Apa barusan dia tersenyum? Oh, Tuhan. Dia mendekat dan berjalan ke arahku. Rambut ikalnya yang tadi tepercik air ikutan bergoyang seiring langkahnya.
“Hai,” sapanya. Selain senyumnya yang memikat hati, suaranya pun membuat irama jantung ini tidak beraturan lagi. Jika diibaratkan dengan nada, mungkin nada jantungku sudah fals.
“Eh—hai,” balasku. Uuh, kenapa sih tadi aku pakai gugup segala? Aku harus melakukan salah satu gerakan yoga yang selalu diajarkan instrukturku. Tarik napas perlahan, embuskan.
“Kamu kenapa tarik napas seperti itu?” Dia bertanya. Aku dapat melihat alis hitamnnya yang tebal tampak menyatu seakan pasukan semut sedang berbaris rapi.
Mati. Ketahuan sekali kalau aku salah tingkah. “Hmm, tidak apa-apa kok, tadi lagi menikmati udara saja. Raja Ampat bagus, ya?” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Dia tersenyum sekilas. Tanpa dia sadari, segaris senyumnya bisa membuat jantungku lari marathon. “Ya, banyak orang bilang begitu. Kamu baru sekali ke sini?”
“Iya,” jawabku singkat. Seketika lidahku kelu, serasa ada batu tersangkut di tenggorokan yang membuatku sulit merangkai aksara. Jangankan bicara, bernapas pun rasanya sudah susah setengah mati.
“Sendiri?” tanyanya lagi.
“Tidak kok, keluargaku lagi di hotel.”
Dia mengangguk-anggukan kepalanya. “Eh, namanya siapa? Belum kenalan.”
Aku menyambut uluran tangannya, “Senja.”
“Laut,” sahutnya. Laut? Apa aku tak salah dengar kalau nama dia Laut?
“Wah, namamu unik.”
“Namamu juga,” komentarnya. “Senja. Aku sering memperhatikan senja. Lihat, cantik, kan? Sama seperti kamu,” lanjutnya seraya menunjuk matahari yang hampir pudar ditelan lautan. Kembali ke peraduannya.
Sekarang aku butuh kaca. Aku ingin melihat bagaimana rupaku saat ini. Mungkinkah seperti tomat? Atau kepiting rebus? Aku tak tahu. Saat ini yang kurasakan hatiku menghangat dan senyumku merona. Rasa bahagia melingkupiku.
“Senja, aku pergi ke sana dulu ya. Sepertinya bos memanggilku. Besok masih di sini, kan?” katanya tiba-tiba. Terpatri sedikit kegelisahan di raut wajahnya.
Dahiku berkerut heran membentuk beberapa lipatan tipis. “Bos?”
“Hmm, iya dia bosku, aku pelatih diving termuda di Raja Ampat,” jelasnya dengan nada tidak menyombongkan diri sama sekali. “Besok kamu masih di sini, kan?” Dia mengulang pertanyaannya tadi.
“Iya, masih kok.”
“Sampai bertemu besok, Senja.” Kemudian dia pun melesat pergi setelah mengulas senyum kepadaku.
Kau tahu? Kurasa barusan hatiku berdesir. Bunyinya seperti pasir yang tertiup angin. Laut. Mengingat namanya tanpa sadar membuat senyumku mengembang. Mungkin ini terdengar mengada-ada, terutama bagi engkau yang tidak percaya pada cinta pada pandangan pertama. Tapi hatiku sudah memutuskan bahwa selain laut, aku juga menyukai Laut.
*
Dia tidak ada di sini. Padahal senja sudah merekahkan jingganya. Salahkah jika aku berharap dia datang menemuiku lagi? Mungkin aku yang terlalu berharap. Bahkan kemarin dia tidak berjanji akan menemuiku lagi. Laut hanya berkata, “Sampai bertemu besok, Senja.” Ah, apakah itu pertanda janji? Atau basa-basi belaka?
Aku tidak mengerti.
Baru saja air mataku ingin menetes, mataku menangkap Laut. Ya, Laut yang kemarin berbincang-bincang sebentar denganku. Dia ada di sana. Dalam radius sekitar sepuluh meter dariku. Tapi, dia bersama... entahlah. Aku tak mengenalnya. Mungkin itu salah satu wisatawan yang menjadi murid di kelas diving-nya. Tapi...
Aku menelan ludah. Kenapa tangan mereka saling bertautan? Mungkinkah Laut sudah punya kekasih? Tanpa terasa dua sungai kecil sudah mengalir di pipiku dan terjun mengikuti gravitasi bumi. Bergabung bersama butiran-butiran pasir halus.
Ya, sekali lagi mungkin aku yang terlalu berharap. Barangkali pertemuan singkat kemarin tidak berarti apa-apa baginya. Mungkin saja pujiannya kepadaku hanya sekadar rayuan belaka. Bukankah laki-laki suka menebar kata-kata manis? Bodohnya aku yang mudah percaya dan mengharapkan Laut yang selalu akan menghangatkan hatiku. Rupanya dia malah menghanyutkan perasaanku yang tergulung ombak lalu terempas ke batu karang. Hancur berkeping-keping.
Laut. Bagaimana bisa aku melupakanmu jika kamu selalu mengingatkanku akan kesukaanku? Apakah aku juga harus membenci laut?
*
Laut
Hai. Namaku Laut. Aku suka senja. Koreksi, aku sangat mencintai senja. Bagiku, senja itu cantik dan bisa membuat jiwaku tenang dan damai. Bahkan aku pernah bermimpi ingin mempunyai kekasih yang bernama Senja. Tapi, jarang sekali bukan, perempuan yang bernama Senja? Aku yakin pasti diam-diam kau menganggukkan kepalamu, mengiyakan pertanyaanku.
Aku melihat gadis itu. Gadis yang sedang duduk menikmati senja. Sedari tadi mataku tak letih-letih mengamatinya. Dari sini aku dapat menggambarkan perawakannya. Harus mulai dari mana? Oh, mungkin dari atas dulu. Rambut panjangnya yang bergelombang, seketika tanganku ingin merasakan bagaimana rasanya membelai rambut indah itu. Dari samping wajahnya tampak manis sekali, membentuk siluet yang membuat organ hatiku terombang-ambing seperti ombak di laut.
Tiba-tiba dia menoleh, mungkin dia tersadar bahwa aku sedang memperhatikannya. Segera aku menarik sudut-sudut bibirku ke atas. Entah dari mana asal perintahnya, detik itu juga kakiku berjalan menghampiri gadis itu.
“Hai.” Aku menyapanya seraya tersenyum. Oh, rupanya gadis ini sungguh sangat cantik. Seperti senja.
“Eh—hai,” sahutnya. Nada bicaranya terdengar gugup, apakah dia terkejut melihat kedatanganku yang bagaimana pun juga hanyalah orang asing? Detik kemudian aku dapat melihat dia menarik napas dan mengempaskannya, bergabung bersama udara.
“Kamu kenapa tarik napas seperti itu?” tanyaku sedikit penasaran dengan kelakuannya tadi.
“Hmm, tidak apa-apa kok, tadi lagi menikmati udara saja. Raja Ampat bagus, ya?”            Aku tersenyum ketika menjawab pertanyaannya, “Ya, banyak orang bilang begitu. Kamu baru sekali ke sini?”
“Iya,” jawabnya singkat. Kenapa kamu menjawab singkat sekali? Aku jadi bingung ingin berbicara apa lagi.
Akhirnya aku bertanya kepadanya setelah menyadari dia sedang sendirian di sini. “Sendiri?”
“Tidak kok, keluargaku lagi di hotel.”
Aku mengangguk-anggukan kepala sambil memikirkan topik apa lagi yang harus kukatakan untuk bisa berbincang dengannya. “Eh, namanya siapa? Belum kenalan.”
Dia menyambut uluran tanganku, “Senja.” Aku tidak menyangka gadis ini bernama Senja. Mungkinkah ini hanya kebetulan? Atau Tuhan telah sengaja mempertemukanku dengan gadis Senja yang selama ini kuimpikan?
“Laut,” ujarku memperkenalkan diri. Aku dapat melihat bola matanya melebar saat aku menyebutkan namaku. Barangkali dia tidak percaya bahwa namaku Laut. Nama yang aneh memang. Tapi, aku bangga. Nama ini pemberian almarhum kakekku.
“Wah, namamu unik,” pujinya tiba-tiba.
“Namamu juga,” ucapku. “Senja. Aku sering memperhatikan senja. Lihat cantik, kan? Sama seperti kamu.” Aku pun balas memujinya sembari menunjuk ke arah matahari yang hampir terbenam dan menorehkan semburat jingga.
Kurasa sekarang Senja tersipu malu. Oh, wajahnya seperti udang rebus. Merah merona. Tampak menggemaskan.
Di kejauhan, aku mendengar bos memanggilku untuk segera ke sana, menemuinya. “Senja, aku pergi ke sana dulu ya. Sepertinya bos memanggilku. Besok masih di sini, kan?” pamitku.
Dahi dan alisnya berkerut. “Bos?” ujarnya dengan nada ragu-ragu.
“Hmm, iya dia bosku, aku pelatih diving termuda di Raja Ampat,” jelasku. “Besok kamu masih di sini, kan?” Aku mengulang pertanyaanku tadi.
“Iya, masih kok.”
“Sampai bertemu besok, Senja.” Kemudian aku pun melesat pergi setelah mengukir senyum kepada Senja.
*
Maafkan aku, Senja. Aku tidak bisa datang menghampirimu lagi. Namun di sini aku dapat melihat dirimu yang sedang menikmati senja seorang diri. Mungkinkah kamu menungguku? Kurasa tidak.
Aku tidak bisa ke tempatmu karena sekarang ada Bulan. Dia salah satu murid diving-ku. Beginilah hidup. Kadang tak sesuai dengan yang kau inginkan. Kadang tak sejalan dengan apa yang kau rencanakan.
Aku sadar. Aku hanyalah pelatih diving yang gajinya pun tidak seberapa. Sedangkan kamu, Senja, mungkin gadis seusia kamu tidak perlu membanting tulang, cukup menikmati hasil jerih payah orang tua saja.
Maka dari itu, aku membutuhkan Bulan. Dia salah satu pelangganku yang suka membayar lebih jika aku mau menuruti semua perintahnya. Termasuk menggenggam tangannya. Bulan ingin aku menjadi kekasih selama liburannya. Kekasih sesaat, katanya.
Maafkan aku, Senja. Mungkin kita tidak seperti senja di laut yang saling bersama saat mentari memudarkan cahayanya. Aku hanyalah laut yang tertutup awan kelabu di sore hari. Pertanda senja enggan menghampiri.
Untukmu yang tersimpan di hati. Rindu akan selalu terpatri,

Laut.

You May Also Like

0 komentar