Cerpen Islami: Kado Terakhir Untuk Bunda

by - Sunday, May 06, 2012

Hi, long time no post here, because I always feel writer block. hehe
okay, I have one new short story. This short story is for Rohis Competition at my school, SMAN 44 Jakarta. Wish I could win the competition. Amien
So, enjoy reading ;)
Kado Terakhir Untuk Bunda
By: Cindy Pricilla Muharara

            Pagi ini hatiku tak secerah biasanya, sangat bertolak belakang dengan keadaan langit biru yang cerah berpayung awan putih. Seperti biasa, hari Senin di sekolahku selalu diadakan upacara. Bukan. Bukan karena upacara perasaanku jadi murung dan nampak sedih seperti ini. Aku tidak akan selebay itu. Dan aku pun tidak malas untuk sekolah serta menjalankan upacara. Hanya sedih. Ya, hanya sedih. Perlu ditekankan sekali lagi, aku tidak malas dan hanya sedih, maka aku tak sesemangat menjalani hari seperti kemarin-kemarin. Ya aku tahu, apa bedanya. Entahlah.
            Tapi ini semua karena Bunda. Bunda kemarin tidur tak sadarkan diri selama lebih dari 15 jam. Bunda koma. Lalu ketika kulihat, seluruh tubuhnya membengkak karena cairan yang menumpuk di tubuhnya. Aku khawatir. Sangat khawatir. Ketika akhirnya Bunda dibawa ke rumah sakit oleh aku dan Ayahku, dokter berbadan tegap, tinggi, dan masih terlihat muda itu berkata bahwa Bundaku harus dirawat selama beberapa hari di Ruang ICU.
            “Tapi Bunda akan segera sadar kan, Dok?” tanyaku kepada Dokter yang ternyata bernama Akmal tersebut. Aku melihat name-tag yang tertera di dadanya.
            “Semoga saja. Akan saya usahakan. Tetaplah berdo’a, Nak.” Jawab Dokter itu seraya tersenyum menguatkan harapanku.
            Masih ingat jelas percakapanku antara Dokter Akmal kemarin sore. Ya, semoga saja Bunda segera sadar dan Allah mau mendengar do’a-ku.
            Aku tahu, sudah setahun ini Bunda mengidap penyakit gagal ginjal. Kedua ginjalnya bocor, tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Bunda harus rela mengorbankan waktunya demi cuci darah seminggu dua kali selama kurang-lebih 6 jam di salah satu rumah sakit Islam ternama di kawasan elite, Jakarta Pusat. Namanya RS. Afiyah yang artinya sehat atau selamat dalam bahasa Arab. Mungkin itu sebuah harapan dan juga do’a agar orang-orang yang berobat ke rumah sakit tersebut bisa sehat kembali, dengan bantuan Allah SWT pastinya.
            Setiap kali aku mengantar Bunda untuk cuci darah di Ruang Hemodialisa di RS. Afiyah tersebut, aku ikut merasakan sakit yang diderita Bunda. Jarum yang ditusuk ke pergelangan tangan Bunda, mengikuti aliran nadi, sangat besar sekali. Ukurannya kira-kira sebesar kelingking orang dewasa. Belum lagi, ada dua jarum yang seperti itu. Satu jarum untuk jalannya darah dari tubuh Bunda ke mesin hemodialysis, lalu dicuci oleh mesin tersebut, dibuang racunnya, kemudian satu jarum lagi untuk mengalirkan darah dari mesin masuk kembali ke tubuh Bunda. Tetapi, Bunda tidak pernah mengeluh, ia tetap sabar dan tegar menjalani semuanya. Bunda tahu, Allah sedang menguji kesabarannya dengan penyakit.
            Alangkah bersyukur nya aku, karena fungsi filtrasi, reabsorpsi, dan augmentasi pada ginjalku masih berjalan normal. Aku tak sanggup membayangkan bila aku ada di posisi seperti Bunda, yang harus menggantikan fungsi ginjalnya dengan mesin sebesar kulkas satu pintu tersebut. Betapa Maha Dahsyat-Nya ciptaan Allah, ginjal yang kira-kira sebesar kepalan tangan kita bisa berfungsi dengan sangat baik. Sungguh berbeda dengan ciptaan manusia, sudah ukurannya besar, belum tentu berfungsi dengan sangat baik pula.
                                                                        *
            “Hei, kok ngelamun aja?” tanya Syifa, membuyarkan lamunanku tentang Bunda.
            “Eh Syifa, ngga apa-apa kok, aku tadi.....” perkatanku terpotong oleh bunyi bel sekolah yang sangat nyaring.
            “Turun ke lapangan, yuk! Upacara sudah mau mulai tuh!” ajaknya, lalu aku menurutinya.
            Sekitar 20 menit upacara berlalu, aku kira telah selesai, tapi nampaknya ada pengumuman dari Kepala Sekolah. Mungkin pengumuman tentang lomba-lomba yang dimenangi siswa-siswi SMA IT Tharriq Bin Ziyad, pikirku.
            “Selamat kepada Asna Zaida Lathifah, kelas XI IPA-1, pemenang Juara I cerpen islami berjudul ‘Cinta Islam’ se-provinsi DKI Jakarta tahun ini...” ucap Bapak Kepala Sekolah. Ituuu.. Itu namaku. Sontak aku terkejut bahwa cerpen yang sudah kubuat sebulan yang lalu, yang bahkan telah kulupakan, ternyata menang.
            “Dimohon untuk Asna, silakan maju ke depan lapangan.” Terdengar suara di microphone lagi. Aku pun segera maju ke depan sambil merapikan kerudung putihku diiringi ucapan selamat dari teman-temanku.
            Alhamdulillah, ucapku dalam hati. Hadiahnya berupa trophy, sertifikat, dan sejumlah uang. Aha, aku teringat pada ulang tahun Bunda yang ke-40 tahun seminggu lagi. Aku akan membelikan kado untuk Bunda dengan uangku ini.
                                                                        *
            Aku berencana ingin membelikan Bunda sebuah tas. Hmm, bukan tas mahal bermerk seperti Gucci, Balenciaga, Vivienne Westwood atau Dolce Gabbana. Karena pasti uangku tidak cukup. Sekarang aku mengerti kondisi keuangan keluargaku yang sudah tidak seperti dulu. Ketika itu, uang pun bagai air mengalir, setiap kali meminta uang untuk keperluan sekolahku, pasti selalu ada. Namun sekarang.... Ya, aku mengerti, uang Ayah habis untuk biaya pengobatan Bunda. Bahkan handphone-ku yang dulu Blackberry kini berganti menjadi Nokia biasa, tanpa kamera. Sudahlah tak apa, aku ikhlas, yang penting Bunda bisa sembuh.
            Akhirnya aku membeli sebuah tas bertuliskan ‘LV’ yang singkatan dari Louis Vuitton di salah satu toko tas, tak jauh dari sekolahku. Tentu bukan yang asli, KW berapa aku tidak tahu. Entahlah. Aku yakin Bunda tidak terlalu peduli dengan merk tas itu. Yang penting niat dan kadonya. Dan yang jelas modelnya cocok untuk Bunda. Semoga Bunda menyukainya.
            Tiba-tiba HP-ku bergetar dan berbunyi, tanda telepon masuk. Aku segera mengangkatnya. Oh, ternyata dari Ayah.
            “Assalammu’alaikum Ayah, ada apa?” sapaku.
            “Wa’alaikumsalam. Asna, cepatlah kamu ke rumah sakit sekarang. Bunda sudah siuman. Dan ia memanggil-memanggil namamu.” Ayah menjelaskan alasan beliau menelepon.
            “Iya Ayah, Asna akan segera kesana.”
            “Hati-hati, Nak.” ucap Ayah.
            “InsyaAllah Yah.” Aku menutup pembicaraan lalu aku segera merapikan barang-barang bawaanku dan pergi ke RS. Afiyah.
                                                                        *
            Sesampai di rumah sakit, aku menitip kado untuk Bunda ke suster yang jaga di meja resepsionis, supaya tidak ketahuan oleh Bunda. Lalu aku berjalan, menaiki lift ke ruang rawat inap tempat Bunda berada, di kamar 505. Karena Bunda sekarang tidak di ruang ICU lagi.
Ketika aku melihat Bunda yang sedang duduk senderan di kasur ditemani Ayah, betapa bahagianya aku melihat sosok yang sudah koma selama 3 hari itu telah siuman. Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah, Engkau telah mengabulkan do’a-ku dan Ayahku, ucap rasa syukurku di dalam hati.
            “Bunda...” panggilku, seraya menahan isak tangis, namun aku tak tahan untuk tidak menitikkan air mata.
            “Sini, Nak..” ucap Bunda, lirih.
            “Bunda, aku kangen sama Bunda.” Kataku sambil memeluk Bunda.
            “Bunda juga kangen sama anak Bunda satu-satunya ini.” Ada jeda sebentar sambil Bunda menghempaskan nafas.
“Asna dengerin Bunda ya, kalau sebentar lagi Bunda sudah tidak ada, kamu harus jadi anak yang sholehah dan menjadi wanita yang lembut, baik, cerdas dan cantik. Tidak hanya cantik di luar, tetapi cantik juga di dalam. Seperti arti dari nama kamu, Asna Zaida Lathifah. Janji ya?” nasihat Bunda.
“Iya Bunda, Asna janji. Tapi Bunda juga harus janji sama Asna, jangan tinggalin Asna sendirian, Bunda harus semangat untuk hidup, berusaha untuk sembuh.”
“Iya sayang, lagipula kamu ngga akan sendirian. Ada Ayah yang akan menemanimu. Dan selalu ada Allah di hati kamu...” kata Bunda seraya membelai pipiku.
“Bun...”
“Apa sayang?”
“Aku sayang Bunda” lalu kukecup kening Bunda.
“Bunda juga sayang kamu” balas Bunda sambil tersenyum tulus.
                                                            *
Tiga hari kemudian Dokter Akmal berkata bahwa Bundaku koma lagi. Dan sekarang terjadi penyakit komplikasi di jantungnya. Ya Allah...
Dalam shalat Tahajud aku berdo’a, “Ya Allah, tolong sembuhkanlah penyakit yang diderita Bunda. Ampunilah  segala dosa-dosanya. Aku mohon Ya Allah. Bila Bunda sudah tak kuat menahan rasa sakitnya, aku ikhlas merelakan kepergiannya Ya Allah, asal Engkau tempatkan Bundaku di surga. Amien..” lalu aku bersujud.
                                                            *
Hari ini Bundaku ulang tahun. Kado untuk Bunda sudah siap, telah dibungkus dan dihiasi pita cantik di atasnya. Tetapi hari ini, hari Senin. Ulangan Akhir Semester telah dimulai. Mata pelajaran hari ini adalah Bahasa Indonesia, Matematika, dan Agama Islam.
Teeeetttt. Terdengar bunyi suara bel sekolah, tanda usai UAS untuk hari ini. Lalu ketika aku melihat HP-ku, terdapat beberapa missed call dari Ayah. Sepertinya ini tentang Bunda. Ah, pasti Bunda sudah siuman karena hari ini Bunda ulang tahun. Aku tidak sabar melihat wajah Bunda saat membuka kado dariku. Tiba-tiba HP-ku bergetar. Oh, Ayah telepon lagi. Aku segera menekan tombol hijau di HP-ku.
“Asna?” kata Ayah. Suaranya serak, terdengar seperti habis nangis.
“Apa Yah? Bunda sudah sadar kan?” tanyaku.
“Bunda meninggal...” jawab Ayah dan tangisku pun pecah.
                                                            ***

Do not copy-paste my short story without my name, please! Thanks. ;)

You May Also Like

0 komentar